PAKET BOSS

Memahami Pola Hujan dan Pengaruh efek kekeringan terhadap Produksi Kelapa Sawit

 Latar Belakang

kebutuhan utama bagi pertumbuhan tanaman yang sehat dan produktif,adalah ketersedian air yang cukup. Sebaliknya dampak kekurangan air bagi tanaman  akan berakibat jangka panjang bagi semua jenis tanaman, terutama bagi tanaman perkebunan. Devisit air sering terjadi akibat kurangnya curah hujan dan infrastrukstur konservasi tanah dan air yang kurang memadai. Saat ini faktor klimatik terutama curah hujan yang polanya sudah sangat berubah dan sulit diprediksi dan memberikan sebuah isyarat  kepada  kita  untuk mengelola jumlah curah hujan (air)  secara efisien dan efektif dalam mendukung upaya peningkatan produksi yang optimal.

Kemampuan tanah  dalam  menyerap semua air hujan berbeda-beda tergantung dari jenis tanah, dengan sifat karakteristik yang berbeda pula, dengan volume air hujan yang besar dalam waktu singkat dan daya infiltrasi tanah yang rendah,mengakibatkan terjadinya aliran permukaan (runoff). Penyimpanan  air (water harvesting) ditujukan memanfaatkan air permukaan  dan menyimpan sebanyak-banyaknya dalam tanah sehingga kelembaban tanah  terjaga dalam masa yang lama dan mampu mendukung produktifitas tanaman.
Akar sebagai suatu organ tanaman mempunyai fungsi sebagai penyerap air, garam-garam mineral dan oksigen dari dalam tanah dan juga sebagai jangkar bagi tumbuh-tegaknya tanaman.Karena itu sistem perakaran sangat mempengaruhi penyerapan hara dan air yang diperlukan tanaman untuk proses fotosintesis  sehingga  produktivitas tanaman meningkat. Perakaran Kelapa sawit yang dangkal menyebabkan tidak toleran terhadap cekaman kekeringan yang sangat membatasi pertumbuhan dan produksi.Pemahaman yang benar mengenai dampak kekeringan terhadap produksi kelapa sawit serta antisipasi untuk meminimalkan dampak tersebut sangatlah penting untuk diketahui, sehingga tujuan dari penulisan tema ini dapat memberikan pengetahuan serta sumbang pikiran kepada pembaca majalah sawit Indonesia, khususnya insan perkebunan kelapa sawit agar dapat meningkatkan hasil produksi secara kontiniu dan dapat meminimalkan dampak kekeringan terhadap produksi kelapa sawit.

Perbedaan Pola Hujan diwilayah Utara Khatulistiwa dan Selatan khatulistiwa
Secara umum wilayah curah hujan di Indonesia terbagi mengikut type Equatorial, type Monsoonal, type Monsoon dan type Lokal. Perubahan iklim global  berpengaruh pada pola distribusi hujan tahunan di sebagian besar wilayah di Indonesia. Curah hujan tahunan periode 1961 – 1990 mengikuti pola seperti pada gambar berikut.


Gambar  1. Pola distribusi hujan bulanan di Indonesia periode 1961 – 1990 (Sumber: Atlas curah hujan Indonesia, 2004)

Secara umum berdasarkan gambar diatas Nampak perbedaan yang signifikan pola hujan di wilayah utara khatulistiwa dengan pola hujan di selatan khatulistiwa. Pada saat diwilayah selatan khatulistiwa masih mengalami kekeringan atau musim kemarau, ternyata di wilayah utara khatulistiwa sudah berakhir musim kemarau dan sudah memasuki musim penghujan, dan jumlah bulan kering di wilayah selatan khatulistiwa lebih banyak dibandingkan bulan kering diwilayah utara khatulistiwa. Hal ini secara langsung sangat berpengaruh terhadap perbedaan  produksi buah di kedua wilayah tersebut. Wilayah Kalimantan selatan terletak di selatan khatulistiwa dan Di Kalimantan Selatan (Kal-Sel) periode 1961 – 1990 curah hujan tahunan berkisar 2500 mm – 3500 mm/th dengan pola sebaran bulanan  seperti gambar 2. Di periode Juli – Desember  terjadi beberapa bulan kering dan periode Januari – Juni hampir tidak terdapat bulan kering, kondisi sangat berbeda dengan di Kalimantan Tengah (Kal-Teng) yang tidak terdapat bulan kering. Ini merupakan salah satu faktor pembatas dalam pencapaian produksi yang optimal di wilayah Kal-Sel, dan perlu dilakukan berbagai upaya konservasi tanah, air dan kultur teknis lainnya sehingga tidak berpengaruh buruk terhadap produksi. Pengaruh defisit air ini tergantung dari kemampuan tanah mengikat air (water holding capacity) yang berbeda-beda untuk setiap jenis tanah yang dipengaruhi oleh kandungan liat (tekstur), bahan organik dan topografi.

Periode yang sama di Kal-Teng memiliki curah hujan 3000 – 4000 mm/th dengan distribusi yang merata sehingga curah hujan tidak menjadi faktor pembatas utama dan yang harus dilakukan adalah membangun infrastruktur konservasi yang berorientasi spesifik lokasi sesuai dengan karakteristik topografi dan jenis tanah. Beberapa Wilayah yang mengalami siklus kekeringan secara berulang terutama periode July – Desember (water deficit). Kejadian ini berdampak pada pola atau trend produksi yang fluktuatif sehingga dalam membuat estimasi produksi atau forcast produksi faktor ini harus menjadi pertimbangan utama selain umur tanaman dan realisasi pemupukan. Hal ini masih menjadi masalah dalam penentuan distribusi produksi bulanan yang juga berpengaruh pada proses di Mill.

Dalam membuat perhitungan water deficit perlu dilakukan perbaikan terutama faktor jenis tanah dan tindakan konservasi yang telah dilakukan, dengan mempertimbangan faktor tersebut dapat memberikan gambaran “water deficit” dan pengaruhnya terhadap produksi yang lebih tepat. Tindakan konservasi tanah dan air hendaknya tetap mempertimbangkan biaya, karakteristik tanah dan pola distribusi curah hujan.       

  Berikut adalah tabel laju infiltrasi yang dapat dijadikan pedoman didalam menyusun langkah-langkah pembuatan bangunan konservasi
Tipe tanah Laju Infiltrasi (mm/jam)
Pasir  = sand less Kurang dari 30
Lempung Berpasir = sandy loam 20 – 30
Lempung = loam 10 – 20
Lempung Liat = clay loam 5 – 10
Liat = clay 1 – 5

 Sumber: Brouwer, 1986 dalam Soemarno
 Tabel    2. Jenis tanah dan kemampuan laju infiltrasi

Hubungan proses siklus pertumbuhan tanaman dengan ketersedian air
Air sebagai penyusun utama protoplasma tanaman dan mempunyai peran yang sangat penting dalam proses fisiologi tanaman. Air berfungsi sebagai pelarut hara, media translokasi hara, penstabil suhu tanaman dan sebagai penyusun utama  biomassa tanaman. Tanah sebagai media tumbuh, mempunyai peran yang sangat penting dalam menunjang  produktivitas tanaman berkaitan dengan kemampuan tanah dalam  penyediaan hara, air dan mendukung sistem perkembangan perakaran. Dalam perkembangan dan proses fisiologis tanaman Kelapa sawit  pembentukan bunga dimulai sejak 38-42 bulan sebelum buah masak dan pelepah dimulai 29 bulan sebelum menjadi pucuk. Selama waktu tersebut berbagai faktor dapat berpengaruh terhadap perkembangannya seperti ketersediaan hara, air yang cukup serta jumlah daun (pelepah).
Di perkebunan Kelapa sawit, sumber air sebagian besar berasal dari hujan yang jatuh pada areal pertanaman. Untuk dapat berproduksi optimal Kelapa sawit memerlukan sekitar 6 mm curah hujan atau setara 60,000 ltr/ha atau 405 lt/pokok pada kerapatan 145 pokok/ha, dan pada kenyataannya kondisi ini sangat sulit terpenuhi. Jika  curah hujan < 100 mm/bulan, untuk tujuan mengurangi water stress, aspek teknis dan praktis dan pertimbangan biaya diperlukan irigasi setara 200 lt/pokok. Untuk tujuan ini Estate yang berdekatan dengan Mill dapat memanfaatkan effluent dengan BOD < 500 ppm yang diaplikasikan pada bangunan longbed atau flatbed. Upaya lain adalah menjaga ground cover tumbuh optimal (selektiv weeding), aplikasi EFB, implementasi U-shape. 

Berikut adalah rata-rata air tersedia pada beberapa jenis tanah yang dapat digunakan dalam sebagai pertimbangan dalam meyusun langkah-langkah konservasi tanah, air dan menghitung water defisit.

Tipe Tanah Air Tersedia (mm/m)
Pasir = sand 55
Lempung Berpasir = sandy loam 120
Lempung Liat = clay loam 150
Liat = clay 135

Sumber: Brouwer, 1986 dalam Soemarno
Tabel  3. Jenis tanah dan ketersediaan air tanah

Curah hujan yang tinggi dan terjadi pagi hingga siang hari akan berhubungan dengan rendahnya aktivitas Elaeidobius kamerunicus dan serangga lain, tingkat  radiasi, kemungkinan yang sama akan mengakibatkan proses fotosintesis tidak berlangsung secara optimal meskipun curah hujan mencukupi. Kajian yang dilakukan di Benin menunjukkan  minyak per mesocarp cenderung tertekan/ rendah didalam janjang yang dipanen setelah 2 bulan tanaman mengalami deficit air, sebagaimana di kutip oleh Corley & P.B.Tinker (2003) p.126 (5) dari Och& Daniel (1976).
Caliman (1998), menyatakan water deficit 100 mm dapat menurunkan produksi 8 – 10% pada tahun pertama dan 3 – 4 % pada tahun ke dua. Menurut Ochs dan Daniel (1976) dalamCaliman (1998) defisit air memberi dampak negatif terhadap sex differensial kelapa sawit, juga meningkatkan jumlah aborsi bunga betina, dan menghambat pertumbuhan tanaman, yang akhirnya akan menurunkan hasil selama beberapa bulan setelah kekeringan.  Dampak negatif lainnya adalah penurunan OER. Infrastruktur “water harvesting” dan “soil  moisture conservation” sangat diperlukan pada area dengan kedalaman tanah < 1.5 m.
Dampak kemarau Panjang  (water deficit > 500 mm/tahun) pada tanaman kelapa sawit diperkebunan Bekri lampung Tengah tahun 1997, dimana penurunan produksi secara riil mencapai diatas 70 %, dimana 20 % – 30 % terjadi pada tahun yang bersangkutan dan 30 % – 50 % pada tahun berikutnya. 

Kekeringan juga berdampak pada penurunan ekstraksi secara drastis dari 22 % menjadi 18 % (Hakim, 2007).
Water Deficit
Kategori mm Yield Reduction (%)
Normal 0 – 100 0 – 10
Sangat Ringan 100 – 200 10 – 20
Ringan 200 – 300 20 – 30
Berat 300– 400 30 – 40
Berat Sekali >400 >60

Sumber : H. Memet, 2007

Kekeringan dapat menghambat pembukaan pelepah daun muda, merusak hijau daun, pelepah daun terkulai dan pupus patah (frond snaping). Pada fase reproduktif cekaman kekeringan menyebabkan perubahan nisbah kelamin bunga, bunga dan buah muda mengalami keguguran dan tandan buah gagal menjadi masak. Akhirnya mengakibatkan gagal panen dan menurunkan produksi tandan buah segar hingga 40 % dan CPO hingga 21-65 % (Calliman & Southworth, 1988: Siregar, 1998).
Kekeringan  di Kalimantan tahun 1997-1998  menyebabkan peningkatan aborsi buah sebesar 19.73% dan aborsi bunga betina 11.43%. Kondisi berlangsung 3 – 6 bulan setelah kekeringan, selain itu kekeringan ini berdampak pada proses sex diferensiasi sehingga 16 – 24 bulan kemudian terjadi penurunan jumlah bunga betina dan peningkatan bunga jantan , sex rasio berkisar 37.7 – 41.8%. Defisit air > 500 mm/tahun dapat menurunkan produksi TBS sebesar 37%,  (R & D  Report 1997).Bangunan konservasi berupa bund terrace memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap peningkatan produksi sebesar 21.5% dan bangunan rorak atau siltpit sebesar 13.4 % dibandingkan tanpa bangunan konservasi.
Kesimpulan
  1. Curah hujan dan distribusinya sangat berpengaruh pada pola produksi , water deficit berdampak terhadap penurunan produksi yang nyata dibandingkan adanya peningkatan produksi oleh peningkatan umur tanaman.
  2. Data curah hujan yang up to date dan  berkelanjutan sangatlahpenting sebagai dasar dalam menyusun perkiraan produksi.
  3. Memahami pola curah hujan suatu wilayah sangatlah penting dan berguna dalam menghadapi musim kemarau dan berguna dalam menyusun budget produksi.
  4. Dampak buruk distribusi curah hujan yang tidak merata dapat dieliminir dengan konservasi tanah dan air yang lebih terprogram dan terintegrasi dengan memanfaatkan semua sumber daya


*Konsultan Perkebunan PT Natural Nusantara



Kantor Layanan & Pemesanan
hubungi:

Distributor Resmi NASA
N-464184
Moch Rizal Fauzi

Dawunan, Secang, Kab.Magelang, Jawa Tengah

Telepon :
+62857 2692 9962

Mobile :
085 726 929 962 (INDOSAT)

Whatsapp :
085 726 929 962
+6285 726 929 962


Kantor Pusat PT. Natural Nusantara
Jl. Ring Road Barat no 72 Salakan, Trihanggo, Gamping, Sleman, Yogjakarta.



Subscribe to receive free email updates: